Selasa, 19 Maret 2013

Macam-macam perikatan dalam hukum perdata (istoni tarigan)


HUKUM PERIKATAN
MACAM-MACAM PERIKATAN




Disusun Oleh :
Istoni Tarigan

FAKULTAS HUKUM
JURUSAN ILMU HUKUM
UNIVERSITAS BANGKA BELITUNG
2013
Istilah “perikatan” berasal dari bahasa Belanda “ verbintenis” secara terminologi verbintenis bersal dari kata kerja verbinden yang artinya mengikat. Dengan demikian, verbintenis menunjuk kepada adanya “ikatan” atau “hubungan”[1]. Dalam tugas ini akan dibahas tentang macam-macam perikatan dalam hukum keperdataan. Senyatanya ada beberapa macam perikatan yang dikenal dalam masyarakat. Di dalam Ilmu Hukum Perdata perikatan dapat dibedakan  berdasarkan berbagai ukuran-ukuran yang ditentukan oleh pihak-pihak atau menurut jenis yang harus dipenuhi atau menurut jumlah subjek yang terlihat dalam perikatan[2].Bentuk perikatan yang paling sederhana, ialah suatu perikatan yang masing-masing pihak hanya ada satu orang dan satu prestasi yang seketika juga dapat ditagih pembayarannya. Disamping bentuk yang paling sederhana itu, terdapat berbagi macam perikatan lain yang akan di uraikan satu persatu dibawah ini.
Baik macam-macam perikatan dilihat dari segi menurut ilmu pengetahuan hukum perdata itu sendiri, yakni: 1. Menurut isi dari pada prestasinya (a. Perikatan positif dan negatif, b. Perikatan sepintas lalu dan berkelanjutan, c. Perikatan alternatif, d. Perikatan fakultatif, e. Perikatan generik dan spesifik, f. Perikatan yang dapat dibagi dan tak dapat dibagi), 2. Menurut subyekya (a. Perikatan tanggung menanggung, b. Perikatan pokok dan tambahan), 3. Menurut mulai berlakunya (a. Periktan bersyarat, b. Perikatan dengan ketetapan waktu). Maupun perikatan yang dilihat dari segi undang-undang perikatan dalam BW (Burgerlijk Wetboek), yakni: (a. Perikatan bersyarat, b. Perikatan dengan ketetapan waktu, c. Perikatan mana suka (alternatif), d. Perikatan tanggung menanggung (tanggung renteng), e. Perikatan yang dapat dibagi dan tak dapat dibagi, f. Perikatan dengan ancaman hukuman[3].
A.      Macam-macam Perikatan Menurut Ilmu Pengetahuan Hukum Perdata
Macam-macam perikatan dapat dibedakan atas beberapa macam, yakni :
1.        Menurut isi dari pada prestasinya :
a.    Perikatan positif dan perikatan negatif
Perikatan positif adalah periktan yang prestasinya berupa perbuatan positif yaitu memberi sesuatu dan berbuat sesuatu. Sedangkan perikatan negatif adalah perikatan yang prestasinya berupa sesuatu perbuatan yang negatif yaitu tidak berbuat sesuatu.
b.    Perikatan sepintas lalu dan berkelanjutan
Perikatan sepintas lalu adalah perikatan yang pemenuhan prestasinya sukup hanya dilakukan dengan satu perbuatan saja dalam dalam waktu yang singkat tujuan perikatan telah tercapai.
c.    Perikatan alternatif
Perikatan alternatif adalah perikatan dimana debitur dibebaskan untuk memenuhi satu dari dua atau lebih prestasi yang disebutkan dalam perjanjian.
d.   Perikatan fakultatif
Perikatan fakultatif adalah periktan yang hanya mempunyai satu objek prestasi.
e.    Perikatan generik dan spesifik
Perikatan generik adalah perikatan dimana obyeknya hanya ditentukan jenis dan jumklah barang yang harus diserahkan. Sedangkan perikatan spesifik adalah perikatan dimana obyeknya ditentukan secara terinci sehingga tampak ciri-ciri khususnya.
f.     Perikatan yang dapat dibagi dan yang tak dapat dibagi
Perikatan yang dapat dibagi adalah perikatan yang prestasinya dapat dibagi, pembagian mana tidak boleh mengurangi hakikat prestasi itu. Sedangkan perikatan yang tak dapat dibagi adalah perikatan yang prestasinya tak dapat dibagi.
2.        Menurut subyeknya
a.       Perikatan tanggung-menanggung (tanggung renteng)
Perikatan tanggung-menanggung adalah perikatan dimana debitur dan/atau kreditur terdiri dari beberapa orang.
b.      Perikatan pokok dan tambahan
Perikatan pokok dan tambahan adalah perikatan anatar debitur dan kreditur yang berdiri sendiri tanpa bergantung kepada adanya perikatan yang lain. Sedangkan perikatan tambahan adalah perikatan antara debitur dan kreditur yang diadakan sebagai perikatan pokok.
3.        Menurut mulai berlakunya dan berakhirnya
a.       Perikatan bersyarat
Perikatan bersyarat adalah perikatan yang lahirnya mauypun berakhirnya (batalnya) digantungkan pada suatu pristiwa yang belum dan tidak tentu terjadi.




b.      Perikatan dengan ketetapan waktu
Perikatan dengan ketetapan waktu adalah perikatan yang pelaksanaanya ditangguhkan sampai pada suatu waktu ditentukan yang pasti akan tiba, meskipun mungkin belum dapat dipastikan waktu yang dimaksud akan tiba[4].
B.       Macam-macam Perikatan Menurut Undang-undang Perikatan (BW)
Macam-macam perikatan dapat dibedakan atas beberapa macam, yakni :
1.        Perikatan bersyarat (voorwaardelijk)
Perikatan bersyarat adalah suatu perikatan yang digantungkan pada suatu kejadian di kemudian hari, yang masih belum tentu akan atau terjadi. Mungkin untuk memperjanjikan bahwa perikatan itu barulah akan lahir, apabila kejadian yang belum tentu timbul itu. Suatu perjanjian yang demikian itu, menggantungkan adanya suatu perikatan pada suatu syarat yang menunda atau mempertangguhkan (opschortende voorwaarde)[5]. Menurut Pasal 1253 KUHperdata tentang perikatan bersyarat “suatu perikatn adalah bersyarat mankala ia digantungkan pada suatu peristiwa yang masih akan datang dan yang masih belum terjadi, baik secara menangguhkan perikatan hingga terjadinya peristiwa semacam itu, maupun secara membatalkan menurut terjadi atau tidak terjadinya peristiwa tersebut”.
Pasal ini menerangkan tentang perikatan bersyarat yaitu perikatan yang lahir atau berakhirnya digantungkan pada suatu peristiwa yang mungkin akan terjadi tetapi belum tentu akan terjadi atau belum tentu kapan terjadinya. Berdasarkan pasal ini dapat diketahui bahwa perikatan bersyarat dapat dibedakan atas dua, yakni: a. Perikatan dengan syarat tangguh; b. Perikatan dengan syarat berakhir[6].
a.     Perikatan dengan syarat tangguh
Apabila syarat “peristiwa” yang dimaksud itu terjadi, maka perikatan dilaksanakan (pasal 1263 KUHpdt). Sejak peristiwa itu terjadi, keawjiban debitor untuk berprestasi segera dilaksanakan. Misalnya, A setuju apabila B adiknya mendiami paviliun rumahnya setelah B menikah. Nikah adalah peristiwa yang masih akan terjadi dan belum pasti terjadi. Sifatnya menangguhkan pelaksanaan perikatan, jika B nikah A wajib menyerahkan paviliun rumahnya untuk didiami oleh B.



b.      Perikatan dengan syarat batal
Perikatan yang sudah ada akan berakhir apabila “peristiwa” yang dimaksud itu terjadi (pasal 1265 KUHpdt). Misalnya, K seteju apabila F kakaknya mendiami rumah K selam dia tugas belajar di Inggris dengan syarat bahwa F harus mengosongkan rumah tersebut apabila K selesai studi dan kembali ketanah air. Dalam contoh, F wajib menyerahkan kembali rumah tersebut kepada K adiknya[7].
Istilah syarat berakhir dan bukan syarat batal yang digunakan karena istilah syarat berakhir tersebut lebih tepat, istilah syarat batal pada umumnya mengesankan adanya sesuatu secara melanggar hukum yang mengakibatkan batalnya perikatan tersebut dan memang perjanjian tersebut tidal batal, tetapi berakhir, dan berakhirnya perikatan tersebut atas kesepakatan para pihak sedangkan kalau batal adalah kalau perjanjian tersebut dimintakan pembatalan oleh salah satu pihak atau batal demi hukum[8].
2.        Perikatan Dengan ketetapan Waktu (tidjsbepaling)
Maksud syarat “ketetapan waktu” ialah bahwa pelaksanaan perikatan itu digantungkan pada waktu yang ditetapkan. Waktu yang ditetapkan itu adalah peristiwa yang masih akan terjadi dan terjadinya sudah pasti, atau berupa tanggal yang sudah tetap. Contonya:”K berjanji pada anak laki-lakinya yang telah kawin itu untuk memberikan rumahnya, apabila bayi yang sedang dikandung isterinya itu telah dilahirkan”[9].
Menurut KUHperdata pasal 1268 tentang perikatan-perikatan ketetapan waktu, berbunyi “ suatu ketetapan waktu tidak, menangguhkan perikatan, melainkan hanya menangguhkan pelaksanaanya”. Pasal ini menegaskan bahwa ketetapan waktu tudak menangguhkan lahirnya perikatan, tetapi hanya menangguhkan pelaksanaanya.Ini berarti bahwa perjajian dengan waktu ini pada dasarnya perikatan telah lahir, hanya saja pelaksanaanya yang tertunda sampai waktu yang ditentukan[10].
Perbedaan antara suatu syarat dengan ketetapan waktu ialah yang pertama, berupa suatu kejadian atau peristiwa yang belum tentu atau tudak akan terlaksana. Sedangkan yang kedua adalah suatu hal yang pasti akan datang, meskipun belum dapat ditentukan kapan datangnya. Misalnya meninggalnya seseorang. Cocontoh-contoh suatu perikatan yang digantungkan pada suatu ketetapan waktu, banyak sekali dalam praktek seperti perjanjian perburuhan, suatu hutang wesel yang dapat ditagih suatu waktu setelahnya dipertunjukan dan lain sebagainya[11].
3.        Perikatan mana suka (alternatif)
Pada perikatan mana suka objek prestasinya ada dua macam benda. Dikatan perikatan mana suka keran dibitur boleh memenuhi presatasi dengan memilih salah satu dari dua benda yang dijadikan objek perikatan. Namun, debitur tidak dapat memaksakan kreditur untuk menerima sebagian benda yang satu dan sebagian benda yang lainnya. Jika debitur telah memenuhi salah satu dari dua benda yang ditentukan dalam perikatan, dia dibebaskan dan perikatan berakhir. Hak milik prestasi itu ada pada debitor jika hak ini tidak secara tegas diberikan kepada kreditor[12].
Menurut pasal 1272 KUHperdata tentang mengenai perikatan-perikatan mana suka (alternatif) berbunyi, “tentang perikatan-perikatan mana suka debitur dibebaskan jika ia menyerahkan salh satu dari dua barang yang disebutkan dalam perikatan, tetapi ia tidak dapat memaksa kreditor untuk menerima kreditor untuk sebagian dari barang yang satu dan sebagian dari barang yang lainnya”. Dalam perikatan alternatif ini debiturtelah bebas jika telah menyerahkan salh satu dari dua atau lebih barang yang dijadikan alternatif pemebayaran. Misalnya, yang diajadikan alternatif adalah dua ekor sapi atau dua ekor kerbau maka kalau debitur menyerahkan dua ekor sapi saja debitur telah dibebaskan.
Walaupun demikian, debitur tdak dapat memaksakan kepada kreditur untuk menerima sebagian dari barang yang satu dan sebagian barang lainnya. Jadi, debitur tidak dapat memaksa kreditor untuk menerima seekor sapi dan seekor kerbau[13].
4.        Perikatan tanggung menanggung atau tanggung renteng (hoofdelijk atau solidair)
Ini adalah suatu perikatan diaman beberapa orang bersama-sam sebagai pihak yang berhutang berhadapan dengan satu orang yang menghutangkan atau sebaliknya. Beberapa orang bersama-sama berhak menagih suatu piutang dari satu orang. Tetapi perikatan semacam yang belakangan ini, sedikit sekali terdapat dalam praktek. Bebrapa orang yang bersama-sama mengahadapi orang berpiutang atau penagih hutang, masing-masing dapat dituntut untuk membayar hutang itu seluruhnya. Tetapi jika salah satu membayar, maka pemabayaran ini juga membaskan semua temen-temen yang berhutang. Itulah yang dimaksud suatu periktan tanggung-menanggung. Jadi, jika dua A dan B secara tangggung-menanggung berhutang Rp. 100.000, kepada C maka A dan B masing-masing dapat dituntut membayar Rp. 100.000,-[14].
Pada dasarnya perikatan tannggung menanggung meliputi, (a). Perikatan tanggung menanggung aktif, (b). Perikitan tanggung menanggung pasif.
a.       Perikatan tanggung menanggung aktif
Perikatan tanggung menanggung aktif terjadi apabila pihak kreditor terdiri dari beberapa orang. Hak pilih dalam hal ini terletak pada debitor. Perikatan tanggung menanggung aktif ini dapat dilihat pada pasal 1279 menyebutkan : “ adalah terserah kepada yang berpiutang untuk memilih apakah ia akan membayar utang kepada yang 1 (satu) atau kepada yang lainnya diantara orang-orang yang berpiutang, selama ia belum digugat oleh salah satu. Meskipun pembebasan yang diberikan oleh salah satu orang berpiutangdalam suatu perikatan tanggung-menanggung, tidak dapat membebaskan siberutang untuk selebihnya dari bagian orang yang berpiutang tersebut”.
b.      Perikatan tanggung menanggung pasif
Perikatan tanggung menanggung pasif terjadi apabila debitor terdiri dari beberapa orang. Contoh “ X tidak berhasil memperoleh pelunasan pelunasan puitanggya dari debitor Y, dalam hal ini X masih dapat menagih kepada debitor Z yang tanggung menanggung dengan Y. Dengan demikian kedudukan kreditor lebih aman”[15].
5.        Perikatan yang dapat dibagi dan perikatan yang tidak dapat dibagi
Suatu perikatan dapat dikatakan dapat dibagi atau tidak dapat dibagi jika benda yang menjadi objek perikatan dapat atau tidak dapat dibagi menurut imbangan lagi pula pembagian itu tidak boleh mengurangi hakikat dari prestasi tersebut. Jadi, sifat dapat atau tidak dapat dibagi itu berdasarkan pada.:
a.       Sifat benda yang menjadi objek perikatan
b.      Maksud perikatannya, apakah itu dapat atau tidak dapat dibagi.
Persoalan dapat dibagi atau tidak dapat dibagi itu mempunyai arti apabila dalam perikatan itu terdapat lebih dari seorang debitor atau lebih dari sorang kreditor. Jika hanya seorang kreditor perikatan itu dianggap sebagai tidak dapat dibagi[16].
6.        Perikatan dengan penetapan hukuman (strabeding)
Untuk mencegah jangan sampai si berhutang dengan mudah saja melaikan kewajibannya dalam praktek banyak dipakai perjanjian diamana siberhutang dikenakan suatu hukuman apabila ia tidak menepati janjinya. Hukuman itu, biasanya ditetapkan dalam suatu jumlah uang tertentu yang sebenarnya merupakan suatu pembayaran kerugian yang sejak semula sudah ditetapkan sendiri oleh para pihak yang membuat perjanjian itu[17]. Menurut pasal 1304 tentang mengenai perikatan-perikatan dengan ancaman hukuman, berbunyi “ anman hukuman adalah suatu ketentuan sedemikian rupa dengan mana seorang untuk imbalan jaminan pelaksanaan suatu perikatan diwajibkan melakukan sesuatu manakala perikatan itu tidak dipenuhi”[18].
Ketentuan diatas sebenarnya merupakan pendorong bagi debitur untuk memenuhi perikatannya karena apabila ia lalai dalam melaksanakannya dia dikenai suatu hukuman tertentu, yang tentu saja akan membawa kerugian baginya karena dengan hukuman tersebut kewajiban akan semakin besar[19].












DAFTAR PUSTAKA
Miru, ahmadi dan pati sakka. HUKUM PERIKATAN : Penjelasan Makna Pasal 1233 Sampai 1456 BW, Jakarta: Rajawali Pers,2011.
Muhammad, abdulkadir. HUKUM PERDATA INDONESIA, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2010.
Subekti. POKOK-POKOK HUKUM PERDATA, Jakarta : PT. Intermasa, cet  31, 2001.
Syahrani, Riduan. Riduan Syahrani, SELUK BELUK dan ASAS-ASAS HUKUM PERDATA, Bandung : PT. Alumni, ed.rev  3,2006.
Tutik, Triwulan, Titik. HUKUM PERDATA: Dalam Sistem Hukum Nasional, Jakarta : Kencana, 2008.


[1] Lihat Titik Triwulan Tutik, HUKUM PERDATA: Dalam Sistem Hukum Nasional, Jakarta : Kencana, 2008,  hlm 197.
[2] Ibid....Titik Triwulan Tutik.
[3] Lihat Riduan Syahrani, SELUK BELUK dan ASAS-ASAS HUKUM PERDATA, Bandung : PT. Alumni, ed.rev  3,2006,hlm  213-214.
[4] Ibid...Riduan Syahrani.
[5] Lihat Prof. Subekti, POKOK-POKOK HUKUM PERDATA, Jakarta : PT. Intermasa, cet  31, 2001, hlm 128
[6] Lihat Prof. Amadi Miru dan Sakka Pati, HUKUM PERIKATAN : Penjelasan Makna Pasal 1233 samapi 1456 BW, Jakarta: Rajawali Pers,2011, hlm 19-20.
[7] Lihat Prof. Abdulkadir Muhammad, HUKUM PERDATA INDONESIA, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti,2010,hlm 249.
[8] Ibid...Ahmadi miru dan sakka pati, hlm 20.
[9] Lihat Titik Triwulan Tutik, HUKUM PERDATA: Dalam Sistem Hukum Nasional, Jakarta : Kencana, 2008,hlm 215.
[10] Lihat Prof. Amadi Miru dan Sakka Pati, HUKUM PERIKATAN : Penjelasan Makna Pasal 1233 samapi 1456 BW, Jakarta: Rajawali Pers,2011, hlm 31.
[11] Lihat Prof. Subekti, POKOK-POKOK HUKUM PERDATA, Jakarta : PT. Intermasa, cet  31, 2001, hlm 129.
[12] Lihat Prof. Abdulkadir Muhammad, HUKUM PERDATA INDONESIA, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti,2010, hlm 250-251.
[13] Lihat Prof. Amadi Miru dan Sakka Pati, HUKUM PERIKATAN : Penjelasan Makna Pasal 1233 samapi 1456 BW, Jakarta: Rajawali Pers,2011,hlm 34.
[14] Lihat Prof. Subekti, POKOK-POKOK HUKUM PERDATA, Jakarta : PT. Intermasa, cet  31, 2001, hlm 130.
[15] Lihat Titik Triwulan Tutik, HUKUM PERDATA: Dalam Sistem Hukum Nasional, Jakarta : Kencana, 2008,hlm 217-218.
[16] Lihat Prof. Abdulkadir Muhammad, HUKUM PERDATA INDONESIA, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti,2010,hlm 255.
[17] Lihat Prof. Subekti, POKOK-POKOK HUKUM PERDATA, Jakarta : PT. Intermasa, cet  31, 2001,hlm 131.
[18] Lihat Prof. Amadi Miru dan Sakka Pati, HUKUM PERIKATAN : Penjelasan Makna Pasal 1233 samapi 1456 BW, Jakarta: Rajawali Pers,2011, hlm 55.
[19] Ibid... Amadi Miru dan Sakka Pati

2 komentar: