Selasa, 19 Maret 2013


AL QUR’AN SEBAGAI DASAR DALAM
SUMBER HUKUM ISLAM






Disusun Oleh :
Istoni Tarigan


FAKULTAS HUKUM
JURUSAN ILMU HUKUM
UNIVERSITAS BANGKA BELITUNG
2013
A.      Latar Belakang
Ketentuan Tuhan yang terdapat dalam Al-qur’an sebagai sumber hukum islam (mashadir al-ahkam) dialaksanakan oleh manusia sesuai dengan kehendak-Nya, melalui pentunjuk yang diberikan oleh Rasul-Nya (sunnah). Dalam kajian Ushhul Fiqih adanya pembedaan kandungan makna kata “sumber “ dan kata “ dalil “ dalam perbicaraan “sumber hukum “ dan “dalil hukum “[1]. Dalam bahasa Arab, kata “sumber’ adalah pemahaman dari kataa “ mashdar”, jamaknya “mashadir” artinya dari segala sesuatu atau tempat merujuk segala sesuatu. Jadi kalau dikatakan mashdar al-hukmi, atau mashdar al-ahkam, artinya asal atau rujukan dalam hukum islam.
Kata ”dalil” dalam betuk jamaknya adalah al-dillat, yang berasal dari bahasa Arab, secara etimologis mempunyai arti petunjuk kepada sesuatu baik yang bersifat hissi (indrawi) maupun maknawi (non-idrawi). Secara terminologi, dalil hukum adalah sesuatu yang dijadikan landasan berfikir yang benar dalam memperoleh atau menemukan, mendapatkan hukum (syara) baik yang qath’iy (pasti) maupun dzanny (relatif). Dengan demikian pengertian istilah “sumber hukum” (masdhadir al-ahkam) dalam pembicaraan “sumber hukum Islam” adalah sman dengan kandungan pemahaman “sumber hukum materiil” (sumber isi) dalam ilmu hukum. Sedangkan penegrtian “dalil hukum” (aldillat al-ahkam) adalah sama dengan kandungan pemahaman pengertian “sumber hukum formiil” (sumber kenal) dalam ilmu hukum[2].
Sumber Agama Islam atau kadang-kadang disebut sebagai sumber ajaran agama Islam dan sumber ajaran Islam. Kalimat itu mempunyai hubungan yang sangat erat, dapat dibedakan tetapi tidak dapat dipisahkan. Agama Islam bersumber dari Al-Qur’an yang memuat wahyu Allah dan Al-hadis yang memuat Sunnah Rasullah. Komponen utama Agama Islam atau unsur utama ajaran agama Islam ( ajidah, syariah, dan akhlak ) dikembangkan dengan ra’yu  atau akal pikiran manusia yang memenuhi syarat untuk mengembangkannya. Yang dikembangkan disini adalah ajaran agama yang terdapat dalam Al-qur’an dan Al-hadis. Dengan kata lain, yang dikembangkan lebih lanjut supaya dipahami oleh manusia adalah Wahyu Allah dan Sunnah Rasul yang merupakan agama (islam) itu sediri[3]
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia “ sumber “ adalah asal sesuatu. Sumber adalah asal ajaran Islam (termasuk sumber agama Islam didalamnya). Allah telah menetapkan sumber ajaran Islam yang wajib diikuti oleh setiap muslim. Ketetapan Allah itu terdapat dalam surat An-Nisa ayat 59 : “ hai orang-orang beriman , taatilah ( kehendak) Allah, taatilah (kehendak) Rasul-Nya dan (kehendak) ulil amri di antara kamu...” Menurt al-qur’an surat An-nisa ayat 59 tersebut dapat dikatakan setiap mukmin (orang-orang yang beriman0 wajib mengikuti kehendak Allah, kehendak Rasul dan kehendak penguasa atau ulil amri (kalangan) mereka sendiri[4].
Diatas telah dipaparkan sebagian kecil dari apa pengertian dari sumber hukum Islam menurut asalnya bahasa itu sendiri atau Arab maupun munurut arti kandungan dalam kamus bahasa Indonesia yang telah diartikan sedemikian rupa. Dalam bentuk tulisan ini bukan hanya itu saja yang akan menjadi pokok pembahasan, akan tetapi memuat sumber hukum islam seperti : arti Al-qur’an itu sediri, sejarah turunya Al-qur’an ke muka bumi ini sehingga menjadi pedoman dan dipatuhi oelh umat manusia khususnya umat Islam itu sendri, dalam tulisan ini akan membahas juga struktur-struktur atau sistematika dalam Al-qur’an dan yang terakhir dalam pembahasan ini adalah hukum-hukum yang terdapat dalam Al-qur’an.


B.       Rumusan Masalah
1.      Jelaskan apakah penegrtian Al-Qur’an sebagai sumber hukum Islam sebagai pedoman umat Islam ?
2.      Jelaskan apakah sejarah turunya Al-Quran sebagai sumber hukum Islam ?
3.      Jelaskan apakah sitematika dalam AlQur’an sebagai dasar sumber hukum Islam ?
4.      Jelaskan apakah hukum-hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an sebagai dasar hukum Islam ?

C.      Pembahasan
1.1.       Pengertian Al-Qur’an
Sumber hukum yang sekaligus sebagi dalil hukum  yang utama dan pertama terdapat dalam wahyu Allah SWT,  yaitu kitab suci Al-Qur’an. Nama wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw,secara etimologi dikenal dengan nama :
1.        Al-Qur’an artinya “bacaaan” atau “yang dibaca” penegrrtian ini sejalan dengan firman Allah dalam Al-Qur’an surah Al-Qiyamah ayat 16-17 : “ jangalah kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca) Al-Qur’an karena hendak cepat-cepat (menguasainya). Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Selain dalam Surah Al-Qiyamah tersebut, kata Al-Qur’an yang berarti “bacaan” juga dapat ditemukan antar lain dalam QS. Al-baqarah [2]: 185, Al-hijr [15]: 87, Al-Ahqaf [46]: 29, Al-Waqi’ah [56]: 77, An-Nahl [16]: 6, Thaha [20] : 2, Al-Hasyar [59]: 59 dan Al-Insan.
2.        Al-kitab atau kitabullah, artinya kitab suci, sebagaimana disebutkan anatara dalam QS. Al-baqarah ; 2, QS.Al-An’am: 114.
3.        Al-Furqan, artinya pembeda, yang membedakan anatar yang benar dengan yang batil, sebagaimana disebutkan antara lain dalam QS. AL-furqan : 1
4.        Al-Dzikr, artinya peringatan, sebagaimana disebutka antara lain dalam  QS. Al-hijr :9.[5]  
Menurut istilah, Al-Qur’an berarti fiman Allah yang merupakan mukzijat yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW sebagai Rasul terakhir dengan perantaraan malaikat Jibril yang tertulis dalam mushaf dan membacanya merupakan ibadah  yang disamapaikan kepada kita secara mutawatir yang dipiperintahkan untuk membaca, yang dimulai dengan Surah Al-Fatihah dan diakhiri dengan Surah An-Nas[6]. Perkataan Al-qur’an berasal dari kata kerja qara’a artinya (dia telah) membaca. Kata kerja ini berubah menjadi kata benda qur’an, yang secara harafiah berarti “bacaan” atau sesuatu yang harus dibaca atau dipelajari. Makna perkataan itu sangatlah erat hubunganya dengan arti ayat Al-Qur’an yang pertama diturunkan di gua Hira yang dimulai dengan perkataan iqra artinya bacalah.
Membaca adalah salah-satu usaha untuk menambah ilmu pengetahuan yang sangat penting bagi hidup dan kehidupan manusia itu sendiri. Dan ilmu pengetahuan (itu) hanya dapat diperoleh dan dikembangkan dengan jalan membaca dalam arti kata yang seluas-luasnya. Munurut S.H. Nasr (SH.Nasr, 1981:27) yang terdapat dalam Al-qur’an adalah prinsip-prinsip segala ilmu pengetahuan, termasuk kosmologi dan pengetahuan alam. Dalam pandanagn Islam, demikian S. Husein Nasr Al-qur’an adalah intisari semua ilmu pengetahuan, namun pengetahuan yang terkandung didalam Al-qur’an itu hanyalah benih-benih dan prinsip-prinsp saja.[7]
1.2.       Sejarah Turunya Al-Qur’an
Al-qur’an adalah kalam Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW yang merupakan mukzijat melalui perantaraan malaikat Jibril untuk disampaikan kepada umat manusia sebagai pedoman hidup sehingga umat manusia mendapat petunjuk untuk kebahagian hidup didunia dan diakhirat. Al-qur’an yang berisikan 30 juz, 86 Surah diturunkan dimekah dan 28 Surah diturunkan dimadinah sehingga seluruhnya berjumlah 114 Surah. Sedangkan jumlah ayatnya terdiri atas 4.780 ayat diturunkan di Mekkah dan 1.456 ayat diturunkan di Madinnah sehingga keseluruhan ayat Al-qur’an 6.236 ayat.[8]
Sebagai kalam Allah SWT yang diwahyukan kepad Nabi Muhammad SAW melalui perantaraan malaikat Jibril, Al-qur’an diturunkan tidak secara sekaligus melaikan melalui beberapa tahapan selama kurang lebih 23 tahun atau dalam masa 22 tahun 2 bulan 22 hari[9]. Tahapan-tahapan yang dimaksud sebagai berikut :
Pertama, malaikat Jibril memasukkan wahyu itu kedalam hati Nabi Muhammad. Nabi sediri mengatakan, seperti diabadikan dalam surah Asy-Syura [42]:51: “ dan tidak mungkin bagi seorang manusia pun bahwa Allah berkata-kata dengan Dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau dibelakang tabir atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sesunggungya Dia Maha-tinggi lagi Maha-bijaksana”. Kedua , malaikat Jibril menampakan dirinya kepad Nabi dalam rupa seorang laki-laki yang mengucapkan kata-kata kepadanya sehingga beliau mengetahui dan menghafalnya.
Ketiga, wahyu datang kepada Nabi seperti gemerincing Lonceng sehingga cara ini dirasakan beliau sebagai cara menerima wahyu yang sangat berat. Keempat, malaikat Jibril menampakan dirinya kepada Nabi dengan Rupanya yang asli seperti dikemukakan dalam Al-qur’an Surah An-Najm [53]: 13-14 : ” Dan sesungguhnya Muhammad telah melihat Jibril itu (dalam tupanya yang asli) pada waktu yang lain, (yaiutu) di Sidratil Muntaha”. Beberapa cara turunya wahyu yang dikemukakan diatas secara langsung memberikan pejelasan kepada kita bahwa Al-qur’an diturunkan secara berangsur-angsur. Hal ini telah didesain sedemikian rupa oleh Allah SWT sehingga didalamnya terkandung berbagai hikmah. Hikmah-hikmah itu sebagaimana dikemukakan dalam bukunya Aspek Hukum dalam Muamala (2007) sebagai berikut:
1.        Lebih memudahkan pelaksanaan dan pemahamanya sehingga orang yang dikenai perintah tidak enggan melaksanakan ketentuan-ketentuan hukum yang terkandung didalam ayat-ayat Al-qur’an.
2.        Ayat-ayat yang diturunkan disesuaikan dengan peristiwa-perestiwa yang terjadi sehingga lebih mengesankan dan lebih berpengaruh di hati.
3.        Di antara ayat yang diturunkanm ada yang merupakan jawaban atas pertannyaan atau penolakan suatu pendapat atau perbuatan.
4.        Untuk lebih memudahkan para sahabat dalam menghafalkannya.[10]
1.3.       Sistematika Al-Qur’an
Al-qur’an adalah sumber agam (juga ajaran) islam pertama dan utama. Menurut keyakinan umat islam yang diakui kebenaranya oleh penelitian ilmiah, Al-qur’an adalah kitab suci yang memuat firman-firman (wahyu) Allah sama benar yang disampaikan oleh Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad sebai Rasul Allah. Sedikit demi sedikit selama 22 tahun 2 bulan 22 hari, mula-mula di Mekah kemudian di Madinah[11]. Tujuannya adalah untuk menjadi pedoman atau petunjuk bagi umat manusia dalam hidup dan kehidupannya mencapai kesejahteraan didunia ini dan kebahagiaan di akhirat kelak.
Al-qur’an yang menjadi sumber nilai dan norma umat islam itu terbagi kedalam 30 juz (bagian), 114 surah (surat; bab) lebih dari 6000 ayat, 74.499 kata atau 325.345 hurf (lebih tepat dikatakan 325.345 suku kata kalau dilihat dari sudut pandang bahasa Indonesia). Tentang jumlah ayat ada perbedaan pendapat antara para ahli ilmuan Al-qur’an. Ada ahli yang memandang 3 ayat tertentu sebagai 1 ayat ada pula yang memandang 2 ayat sebagai 1 ayat, karena masalah koma dan titik yang diletakkan diantara ayat-ayat tersebut. Demikian, jumlah kata dan suku-suku kata yang mereka hitung adalah sama.
Di Indonesia, misalnya yang mengikuti perhitungan Muhammadiyah menyebut jumlah ayat Al-qur’an 6666 ayat, sedang Mesjid Agung Al-Azhar Kebayoran (Jakarta) menghitungnya 6236 ayat sesuai dengan jumlah ayat di dalam Al-qur’an yang dicetak di Mesir (Gazalba, 1976 : 54). Surah pertama disebut Al-Fatihah (pembukaan), Surat ke 114 (penutup) adlah surat An-Nas (manusia)[12]. Al-qur’an tidak disusun secara kronologis, lima ayat pertama diturunkan di gu Hira pada malam 17 Ramadhan  atau pada malam Nuzulul Qur’an  ketika Nabi Muhammad berusia 40-41 tahun, sekarng terletak di surat al-Alaq [96] : 1-5. Ayat terakhir yang diturunkan di padang Arafah, Ketika Nabi Muhammad berusia 63 tahun pada tanggal 9 Zulhijjah tahun ke-10 hijrah, kini terletak disurat Al-maidah [5]: 3[13].
Ayat-ayat Al-qur’an yang diturunkan selama kurang lebih 23 tahun itu disampaikan oleh Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad lebih kurang 13 tahun, waktu Nabi masih tinggal di Mekah sebelum hijrah dan 10 tahun sesudah Nabi hijrah ke Madinah. Ayat-ayat yang diturunkan di Mekah (sebelum hijrah) disebut ayat-ayat Makiyah, merupakan 19/30 dari Al-qur’an banyaknya 86 surat. Surat dan ayat-ayatnya pendek dengan gaya bahasa singkat dan padat. Pada umumnya mengenai tauhid atau Ketuhanan Yang Maha Esa, akhlak dan hari akhir. Ayat- ayat yang diturunkan di Madinah (sesudah hijrah) disebut ayat Madaniyah, merupkan 11/30 dari Al-qur’an banyaknya 28 surat. Surat dan ayat-ayatnya panjang gaya bahasanya jelas dan lugas. Isinya adalah norma-norma hukum untuk pembentukan dan pembinaan suatu masyrakat islam, negara yang baik, adil dan sejahtera yang diridhai Allah[14].
Ciri-ciri ayat-ayat Makiyah dan Madaniyah adalah :
1.        Ayat –ayat Makkiyah pada umunya pendek, merupakan 19/30 dari seluruh isi Al-qur’an, terdiri dari 86 surat 4.780 ayat. Ayat-ayat Madaniyah pada umunya panjang, merupakan 11/30 dari seluruh isi Al-qur’an terdiri dari 28 surat 1456 ayat.
2.        Ayat-ayat Makkiyah dimulai dengan kata-kata yaa ayyuhannas (hai manusia) sedang ayat-ayat Madaniyah dimulai dengan kat-kata yaa ayyuhal lazina amanu (hai orang-orang yang beriman)
3.        Ayat-ayat Makkiyah pada umunya berisi mengenai tauhid yakini keyakinan  pada Kemaha Esaan Allah, hari kiamat, akhlak, dan kisah-kisah umat manusia dimasa lalu, sedang ayat-ayat Madaniyah memuat soal-soal hukum,keadilan, masyarakat dan sebagainya.
4.        Ayat-ayat Makkiyah diturunkan selama 12 tahun 13 hari, sedang ayat-ayat Madaniyah selama 10 tahun 2 bulan 9 hari[15].
Al-qur’an yang terdiri dari 30 juz, 114 surah, 6326 ayat itu sitematikanya ditetapkan oleh Allah sendiri melalui malaikat Jibril yang disampaikan kepada Rasul-Nya Muhammad. Allahlah yang menentukan kemana ayat yang turun lebih dahulu. Sitematikanya tidak seperti sistematik buku (ilmiah), mengikuti metode tertentu suatu masalah dibicarakan dalam beberapa bab, bagian dan butir-butir[16]. Maksud sitematika demikian adalah agar orang mempelajari dan memahami Al-qur’an sebagai satu kesatuan yang harus ditaati pemeluk agama islam secara keseluruhan tanpa memilah-milah (bagian) yang satu dengan yang lain.[17]
1.4.       Hukum Dalam Al-Qur’an
Hukum segala yang ada di dalam Al-qur’an adalah perintah kepada orang yang beriman untuk mengadili dan memberikan penjatuhan hukuman pada sesama manusia yang terbukti bersalah. Hukum dalam Islam berdasrkan Al-qur’an ada beberapa jenis atau macam jinayat, mu’amalat, munakahat, faraid  dan jihad[18]. Abdul Wahab Khallaf macam-macam “hukum” dalam Al-qur’an yang tidak termasuk dalam bidang hukum menurut apa yang bisa dipelajari baik menurut hukum adat maupun menurut hukum barat. Menurut pandangan islam “hukum-hukum” yang terkandung dalam Al-qur’an itu adalah (1) hukum-hukum i’tiqdiyah yaitu hukum-hukum yang berkaitan dengan kewajiban para subyek hukum untuk mempercayai Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan hari pembalasan.
(2)  hukum-hukum akhlak yaitu hukum-hukum Allah yang berhubungan dengan kewajiban soerang subyek “mengiasi” dirinya dengan sifat-sifat keutamaan dan menjauhkan diri dari sifat-sifat yang tercela. (3) hukum-hukum amaliyah yakni hukum-hukum yang bersangkutan dengan perkataan, perbuatan, perjanjian, dan hubungan kerja sama anatr sesama manusia. Macam hukum yang ketiga ini dibagi lagi kedalam dua jenis yaitu (a) hukum ibadat yakni hukum yang mengatur hubungan antara manusia dengan Allah dalam mendirikan shalat, melaksabakan ibadah puasa, mengeluarkan zakat, dan melaksanakan ibadah haji dan (b) hukum-hukum muamalat yakni semua hukum yang mengatur hubungan manusia dengan manusia baik hubungan antar pribadi maupun hubungan antar orang perorangan dengan masyarakat[19].
Al-qur’an adalah sumber hukum (masdar al-ahkam) dan dalil hukum (adillat al-ahkam) yang utama dari syari’at, baik syari’at dalam arti luas maupun dalam arti sempit.
Ditinjau dari makna syari’at dalam arti luas Al-qur’an berisikan :
1.        Ajaran-ajaran (konsepsi) mengenai kepercayaan (akidah) yang fokusnya adalah tawhid (monotheisme) yakni ke-Tuhanan Yang Masa Esa dan sitem pengatyran hubungan antara Tuhan (khaliq) alam raya dan manusia (makhluk).
2.        Berita (riwayat) tentang kedaan umat manusia umat manusia sebulum Muhammad saw menjadi Nabi dan Rasul. Riwayat itu mengisahkan bagaima akibat yang beriman dan yang tidak beriman. Iman adalah sumber kebenaran (al-ahhaq). Orang yang beriman itulah yang benar. Kepercayaannya adalah motif pertama dari kebenaran sikap dan perbuatan.
3.        Berita yang  menggambarkan apa yang akan terjadi pada mas ayang akn datang, terutama pada kehidupan di akhirat yakni masa kehidupan yang kedua.
4.        Peraturan-peraturan lahir yang mengatur tingkah laku manusia yang berisi pengaturan bagaimana manusia berhubungan terhadap sesamanya, dengan benda dan hubungan dengan Tuhannya.
Al-qur’an diturunkan sebagai sumber petunjuk, dalam kehidupan manusia untuk mencapai kehidupan yang baik di dunia dan kehidupan yang baik di akhirat. Kehidupan manusia terdiri dari kehidupan lahiriah dan kehidupan rohaniah. Dengan demikian, hukum-hukum yang terdapat dalam Al-qur’an secara garis besarnya terbagi kepada tiga:
1.        Hukum i’tiqadiyah yaitu yang mengatur hubungan rohaniah anatara manusia dengan Tuhan dan hal-hal yang menyangkut dengan keimanan.
2.        Hukum khulukiyah yaitu yang menyangkut tingkah laku moral lahir dalam kehidupan beragama dan masyarakat.
3.        Hukum amaliyah yaitu yang menyangkut hubungan lahiriah antara manusia dengan Tuhannya dengan sesama manusia dan dengan alam sekitarnya.
Hukum syari’ah dalam arti sempit secara garis besarnya terbagi kepada dua :
1.        Hukum-hukum ibadat dalam arti khusus atau fiqh ibadat yaitu ketentuan-ketentuan yang mengatur hubungan lahiriah anatara manusia dengan Tuhan, seperti shalat, puasa, haji, dan ibdah lainnya.
2.        Hukum-hukum muamalat dalam arti luas atau fiqh muamalat, yaitu ketentuan-ketentuan yang mengatur hubungan manusia dengan sesamanya dan dengan alam sekitarnya. Hukum-hukum muamalat ini dirinci menjadi beberapa bidang hukum :
a.       Hukum muamalat dalam arti khusus atau hukum perdata yaitu ketentuan-ketentuan yang mengatur hubungan antar manusia yang menyangkut harta benda atau kebutuhan akan harta seperti : hubungan jual beli, gadai, hubungan perekonomian.
b.      Hukum perkawinan yaitu hukum yang mengatur hubungan antara manusia dengan sesamanya yang menyangkut penyaluran kebutuhan biologis antar jenis dan hak serta kewajiban yang berhubungan akibat perkawinan tersebut.
c.       Hukum waris yaitu ketentuan yang mengatur hubungan manusia dengan sesamanya yang menyangkut harta benda dan hak yang timbul sehubungan terjkadinya kematian.
d.      Hukum pidana yaitu ketentuan-ketentuan yang mengatur hubungan anatar manusoa dengan sesamanya yang menyangkut tindak pidana atau kejahatan terhadap badan, jiwa, kehormatan, akal, harta benda dan lainnya.
e.       Hukum acara yaitu ketentuan-ketentuan yang mengatur hubungan manusia dengan sesamanya yang bersangkutan dengan cara berperkara di pengadilan dalam rangka mendapatkan atau mempertahankan hak serta menegakan keadilan.
f.       Hukum tata negara dan perundang-undangan yaitu ketentuan-ketentuan yang mengatur hubungan anatar manusia dengan sesamanya yang menyangkut kehidupan beragama dan bernegara, hak dan kewajiban pemimpin serta warganegara.
g.      Hukum antarbangsa (hukum internasional) yaitu ketentuan-ketentuan yang mengatur hubungan manusia dengan sesamanya yang berbeda negara atau agama, baik hubungan dalam keadaan perang maupun dalam keadaan damai.
Hukum yang keluar dari Al-qur’an sebagai sumber hukum (mashadir al-ahkam) yang utama, pada umunya masih bersifat global (ijma’iy) hanya beberapa bagian hukum yang sudah rinci, seperti pengaturan tentang hukum perkawinan dan hukum kewarisan. Selanjutnya rincian terhadap hukum yang masih global tersebut kemudian dijelaskan oelh Muhammad Rasulullah saw dalam Sunnahnya[20].
D.      Penutup
2.1.       Kesimpulan
Dimana diatas telah dipaparkan baik pengertian Al-qur’an sebagai dasar hukum islam, sejarah turunya Al-qur’an sehingga menjadi pedoman bagi umat manusia khususnya yang ber-Agama islam, dan telah dipaparkan juga apakah yang menjadi sistematika dari Al’qur’an tersebut dan yang terakhir adalah hukum-hukum yang terdapat dalam Al-qur’an itu sendiri. Disini akan dipaparkan kembali apa yang menjadi kesimpulan setiap bahasan-bahasan dalam judul ini, antara lain :
1.        Pengertian dari Al-qur’an itu sendiri merupakan Perkataan yang berasal dari kata kerja qara’a artinya (dia telah) membaca. Kata kerja ini berubah menjadi kata benda qur’an, yang secara harafiah berarti “bacaan” atau sesuatu yang harus dibaca atau dipelajari.
2.        Sejarah turunya Al-qur’an adalah kalam Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW yang merupakan mukzijat melalui perantaraan malaikat Jibril untuk disampaikan kepada umat manusia sebagai pedoman hidup sehingga umat manusia mendapat petunjuk untuk kebahagian hidup didunia dan diakhirat.
3.        Sistematika dalam Al-qur’an Al-qur’an yang menjadi sumber nilai dan norma umat islam itu terbagi kedalam 30 juz (bagian), 114 surah (surat; bab) lebih dari 6000 ayat, 74.499 kata atau 325.345 hurf (lebih tepat dikatakan 325.345 suku kata kalau dilihat dari sudut pandang bahasa Indonesia). Ayat-ayat Al-qur’an yang diturunkan selama kurang lebih 23 tahun itu disampaikan oleh Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad lebih kurang 13 tahun, waktu Nabi masih tinggal di Mekah sebelum hijrah dan 10 tahun sesudah Nabi hijrah ke Madinah. Ayat-ayat yang diturunkan di Mekah (sebelum hijrah) disebut ayat-ayat Makiyah, merupakan 19/30 dari Al-qur’an banyaknya 86 surat. Surat dan ayat-ayatnya pendek dengan gaya bahasa singkat dan padat. Pada umumnya mengenai tauhid atau Ketuhanan Yang Maha Esa, akhlak dan hari akhir. Ayat- ayat yang diturunkan di Madinah (sesudah hijrah) disebut ayat Madaniyah, merupkan 11/30 dari Al-qur’an banyaknya 28 surat. Surat dan ayat-ayatnya panjang gaya bahasanya jelas dan lugas. Isinya adalah norma-norma hukum untuk pembentukan dan pembinaan suatu masyrakat islam, negara yang baik, adil dan sejahtera yang diridhai Allah.
4.        Hukum-hukum yang terdapat dalam Al-qur’an Menurut pandangan islam “hukum-hukum” yang terkandung dalam Al-qur’an itu adalah (1) hukum-hukum i’tiqdiyah yaitu hukum-hukum yang berkaitan dengan kewajiban para subyek hukum untuk mempercayai Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan hari pembalasan. (2)  hukum-hukum akhlak yaitu hukum-hukum Allah yang berhubungan dengan kewajiban soerang subyek “mengiasi” dirinya dengan sifat-sifat keutamaan dan menjauhkan diri dari sifat-sifat yang tercela. (3) hukum-hukum amaliyah yakni hukum-hukum yang bersangkutan dengan perkataan, perbuatan, perjanjian, dan hubungan kerja sama anatr sesama manusia. Macam hukum yang ketiga ini dibagi lagi kedalam dua jenis yaitu (a) hukum ibadat yakni hukum yang mengatur hubungan antara manusia dengan Allah dalam mendirikan shalat, melaksabakan ibadah puasa, mengeluarkan zakat, dan melaksanakan ibadah haji dan (b) hukum-hukum muamalat yakni semua hukum yang mengatur hubungan manusia dengan manusia baik hubungan antar pribadi maupun hubungan antar orang perorangan dengan masyarakat.









DAFTAR BACAAN

Daud Ali, Muhammad, H. Pendidikan Agama Islam. Jakarta :
          PT. Raja Grafindo Persada, 2006.

Hasan, Sofyan, K.N, H. Hukum Islam : Bekal Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Islam                Di indonesia. Jakarta : Lentera Lintas Media, 2004.

Iskandar. Agama Islam. Yogyakarta : Total Media, 2009.

Mafud, Rois, H. Al-Islam : Pendidikan Agama Islam. Jakarta : Erlangga, 2011.

Usman, Suparman, H. Hukum Islam : Asas-asas dan Pengantar Studi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia. Jakarta : Gaya Media Pratama, 2001.







[1] Lihat H. Suparman Usman, Hukum Islam : Asas-Asas Dan Pengantar Hukum Islam Dalam Tata Hukum Indosnesia, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001, hlm 32.
[2] Ibid.....Suparman Usman
[3] Lihat Iskandar, S.Ag., M.Hum, Agama Islam, Yogyakarta: Total Media, 2009,cet .ke 1, hlm 99
[4] Ibid....iskandar, hlm 100-101
[5] Ibid...Suparman Usman, hlm 38
[6] Lihat H. Rois Mahfud, Al-Islam: Pendidikan Agama Islam, Jakarta : 2010, Hlm 107-108.
[7] Lihat H.KN. Sofyan Hasan, HUKUM ISLAM: Bekal Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Islam Di Indonesia, Jakarta, Literata Lintas Media, 2004, hlm 36-37.
[8] Ibid...Rois Mahfud, hlm 107
[9] Ibid...Suparman Usman, hlm 39
[10] Lihat H. Rois Mahfud, Al-Islam: Pendidikan Agama Islam, Jakarta : 2010, hlm 107-110
[11] Lihat Iskandar, S.Ag., M.Hum, Agama Islam, Yogyakarta: Total Media, 2009,cet .ke 1, hlm 102
[12] Lihat H. Mohammad Daud Ali, Pendidikan Agama Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006, edsi.1, hlm 93-94
[13] Lihat H.KN. Sofyan Hasan, HUKUM ISLAM: Bekal Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Islam Di Indonesia, Jakarta, Literata Lintas Media, 2004, hlm 43.
[14] Lihat H.KN. Sofyan Hasan, HUKUM ISLAM: Bekal Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Islam Di Indonesia, Jakarta, Literata Lintas Media, 2004, hlm  44-43.
[15] Lihat Iskandar, S.Ag., M.Hum, Agama Islam, Yogyakarta: Total Media, 2009,cet .ke 1,hlm 103-104.
[16] Ibid...Mohammad Daud Ali, hlm 95
[17] Ibid...Iskandar, hlm 104.
[18] Lihat H. Rois Mahfud, Al-Islam: Pendidikan Agama Islam, Jakarta : 2010, hlm 111
[19] Lihat H.KN. Sofyan Hasan, HUKUM ISLAM: Bekal Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Islam Di Indonesia, Jakarta, Literata Lintas Media, 2004, hlm 39-40.
[20] Lihat H. Suparman Usman, Hukum Islam : Asas-Asas Dan Pengantar Hukum Islam Dalam Tata Hukum Indosnesia, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001, hlm 39-42.

Macam-macam perikatan dalam hukum perdata (istoni tarigan)


HUKUM PERIKATAN
MACAM-MACAM PERIKATAN




Disusun Oleh :
Istoni Tarigan

FAKULTAS HUKUM
JURUSAN ILMU HUKUM
UNIVERSITAS BANGKA BELITUNG
2013
Istilah “perikatan” berasal dari bahasa Belanda “ verbintenis” secara terminologi verbintenis bersal dari kata kerja verbinden yang artinya mengikat. Dengan demikian, verbintenis menunjuk kepada adanya “ikatan” atau “hubungan”[1]. Dalam tugas ini akan dibahas tentang macam-macam perikatan dalam hukum keperdataan. Senyatanya ada beberapa macam perikatan yang dikenal dalam masyarakat. Di dalam Ilmu Hukum Perdata perikatan dapat dibedakan  berdasarkan berbagai ukuran-ukuran yang ditentukan oleh pihak-pihak atau menurut jenis yang harus dipenuhi atau menurut jumlah subjek yang terlihat dalam perikatan[2].Bentuk perikatan yang paling sederhana, ialah suatu perikatan yang masing-masing pihak hanya ada satu orang dan satu prestasi yang seketika juga dapat ditagih pembayarannya. Disamping bentuk yang paling sederhana itu, terdapat berbagi macam perikatan lain yang akan di uraikan satu persatu dibawah ini.
Baik macam-macam perikatan dilihat dari segi menurut ilmu pengetahuan hukum perdata itu sendiri, yakni: 1. Menurut isi dari pada prestasinya (a. Perikatan positif dan negatif, b. Perikatan sepintas lalu dan berkelanjutan, c. Perikatan alternatif, d. Perikatan fakultatif, e. Perikatan generik dan spesifik, f. Perikatan yang dapat dibagi dan tak dapat dibagi), 2. Menurut subyekya (a. Perikatan tanggung menanggung, b. Perikatan pokok dan tambahan), 3. Menurut mulai berlakunya (a. Periktan bersyarat, b. Perikatan dengan ketetapan waktu). Maupun perikatan yang dilihat dari segi undang-undang perikatan dalam BW (Burgerlijk Wetboek), yakni: (a. Perikatan bersyarat, b. Perikatan dengan ketetapan waktu, c. Perikatan mana suka (alternatif), d. Perikatan tanggung menanggung (tanggung renteng), e. Perikatan yang dapat dibagi dan tak dapat dibagi, f. Perikatan dengan ancaman hukuman[3].
A.      Macam-macam Perikatan Menurut Ilmu Pengetahuan Hukum Perdata
Macam-macam perikatan dapat dibedakan atas beberapa macam, yakni :
1.        Menurut isi dari pada prestasinya :
a.    Perikatan positif dan perikatan negatif
Perikatan positif adalah periktan yang prestasinya berupa perbuatan positif yaitu memberi sesuatu dan berbuat sesuatu. Sedangkan perikatan negatif adalah perikatan yang prestasinya berupa sesuatu perbuatan yang negatif yaitu tidak berbuat sesuatu.
b.    Perikatan sepintas lalu dan berkelanjutan
Perikatan sepintas lalu adalah perikatan yang pemenuhan prestasinya sukup hanya dilakukan dengan satu perbuatan saja dalam dalam waktu yang singkat tujuan perikatan telah tercapai.
c.    Perikatan alternatif
Perikatan alternatif adalah perikatan dimana debitur dibebaskan untuk memenuhi satu dari dua atau lebih prestasi yang disebutkan dalam perjanjian.
d.   Perikatan fakultatif
Perikatan fakultatif adalah periktan yang hanya mempunyai satu objek prestasi.
e.    Perikatan generik dan spesifik
Perikatan generik adalah perikatan dimana obyeknya hanya ditentukan jenis dan jumklah barang yang harus diserahkan. Sedangkan perikatan spesifik adalah perikatan dimana obyeknya ditentukan secara terinci sehingga tampak ciri-ciri khususnya.
f.     Perikatan yang dapat dibagi dan yang tak dapat dibagi
Perikatan yang dapat dibagi adalah perikatan yang prestasinya dapat dibagi, pembagian mana tidak boleh mengurangi hakikat prestasi itu. Sedangkan perikatan yang tak dapat dibagi adalah perikatan yang prestasinya tak dapat dibagi.
2.        Menurut subyeknya
a.       Perikatan tanggung-menanggung (tanggung renteng)
Perikatan tanggung-menanggung adalah perikatan dimana debitur dan/atau kreditur terdiri dari beberapa orang.
b.      Perikatan pokok dan tambahan
Perikatan pokok dan tambahan adalah perikatan anatar debitur dan kreditur yang berdiri sendiri tanpa bergantung kepada adanya perikatan yang lain. Sedangkan perikatan tambahan adalah perikatan antara debitur dan kreditur yang diadakan sebagai perikatan pokok.
3.        Menurut mulai berlakunya dan berakhirnya
a.       Perikatan bersyarat
Perikatan bersyarat adalah perikatan yang lahirnya mauypun berakhirnya (batalnya) digantungkan pada suatu pristiwa yang belum dan tidak tentu terjadi.




b.      Perikatan dengan ketetapan waktu
Perikatan dengan ketetapan waktu adalah perikatan yang pelaksanaanya ditangguhkan sampai pada suatu waktu ditentukan yang pasti akan tiba, meskipun mungkin belum dapat dipastikan waktu yang dimaksud akan tiba[4].
B.       Macam-macam Perikatan Menurut Undang-undang Perikatan (BW)
Macam-macam perikatan dapat dibedakan atas beberapa macam, yakni :
1.        Perikatan bersyarat (voorwaardelijk)
Perikatan bersyarat adalah suatu perikatan yang digantungkan pada suatu kejadian di kemudian hari, yang masih belum tentu akan atau terjadi. Mungkin untuk memperjanjikan bahwa perikatan itu barulah akan lahir, apabila kejadian yang belum tentu timbul itu. Suatu perjanjian yang demikian itu, menggantungkan adanya suatu perikatan pada suatu syarat yang menunda atau mempertangguhkan (opschortende voorwaarde)[5]. Menurut Pasal 1253 KUHperdata tentang perikatan bersyarat “suatu perikatn adalah bersyarat mankala ia digantungkan pada suatu peristiwa yang masih akan datang dan yang masih belum terjadi, baik secara menangguhkan perikatan hingga terjadinya peristiwa semacam itu, maupun secara membatalkan menurut terjadi atau tidak terjadinya peristiwa tersebut”.
Pasal ini menerangkan tentang perikatan bersyarat yaitu perikatan yang lahir atau berakhirnya digantungkan pada suatu peristiwa yang mungkin akan terjadi tetapi belum tentu akan terjadi atau belum tentu kapan terjadinya. Berdasarkan pasal ini dapat diketahui bahwa perikatan bersyarat dapat dibedakan atas dua, yakni: a. Perikatan dengan syarat tangguh; b. Perikatan dengan syarat berakhir[6].
a.     Perikatan dengan syarat tangguh
Apabila syarat “peristiwa” yang dimaksud itu terjadi, maka perikatan dilaksanakan (pasal 1263 KUHpdt). Sejak peristiwa itu terjadi, keawjiban debitor untuk berprestasi segera dilaksanakan. Misalnya, A setuju apabila B adiknya mendiami paviliun rumahnya setelah B menikah. Nikah adalah peristiwa yang masih akan terjadi dan belum pasti terjadi. Sifatnya menangguhkan pelaksanaan perikatan, jika B nikah A wajib menyerahkan paviliun rumahnya untuk didiami oleh B.



b.      Perikatan dengan syarat batal
Perikatan yang sudah ada akan berakhir apabila “peristiwa” yang dimaksud itu terjadi (pasal 1265 KUHpdt). Misalnya, K seteju apabila F kakaknya mendiami rumah K selam dia tugas belajar di Inggris dengan syarat bahwa F harus mengosongkan rumah tersebut apabila K selesai studi dan kembali ketanah air. Dalam contoh, F wajib menyerahkan kembali rumah tersebut kepada K adiknya[7].
Istilah syarat berakhir dan bukan syarat batal yang digunakan karena istilah syarat berakhir tersebut lebih tepat, istilah syarat batal pada umumnya mengesankan adanya sesuatu secara melanggar hukum yang mengakibatkan batalnya perikatan tersebut dan memang perjanjian tersebut tidal batal, tetapi berakhir, dan berakhirnya perikatan tersebut atas kesepakatan para pihak sedangkan kalau batal adalah kalau perjanjian tersebut dimintakan pembatalan oleh salah satu pihak atau batal demi hukum[8].
2.        Perikatan Dengan ketetapan Waktu (tidjsbepaling)
Maksud syarat “ketetapan waktu” ialah bahwa pelaksanaan perikatan itu digantungkan pada waktu yang ditetapkan. Waktu yang ditetapkan itu adalah peristiwa yang masih akan terjadi dan terjadinya sudah pasti, atau berupa tanggal yang sudah tetap. Contonya:”K berjanji pada anak laki-lakinya yang telah kawin itu untuk memberikan rumahnya, apabila bayi yang sedang dikandung isterinya itu telah dilahirkan”[9].
Menurut KUHperdata pasal 1268 tentang perikatan-perikatan ketetapan waktu, berbunyi “ suatu ketetapan waktu tidak, menangguhkan perikatan, melainkan hanya menangguhkan pelaksanaanya”. Pasal ini menegaskan bahwa ketetapan waktu tudak menangguhkan lahirnya perikatan, tetapi hanya menangguhkan pelaksanaanya.Ini berarti bahwa perjajian dengan waktu ini pada dasarnya perikatan telah lahir, hanya saja pelaksanaanya yang tertunda sampai waktu yang ditentukan[10].
Perbedaan antara suatu syarat dengan ketetapan waktu ialah yang pertama, berupa suatu kejadian atau peristiwa yang belum tentu atau tudak akan terlaksana. Sedangkan yang kedua adalah suatu hal yang pasti akan datang, meskipun belum dapat ditentukan kapan datangnya. Misalnya meninggalnya seseorang. Cocontoh-contoh suatu perikatan yang digantungkan pada suatu ketetapan waktu, banyak sekali dalam praktek seperti perjanjian perburuhan, suatu hutang wesel yang dapat ditagih suatu waktu setelahnya dipertunjukan dan lain sebagainya[11].
3.        Perikatan mana suka (alternatif)
Pada perikatan mana suka objek prestasinya ada dua macam benda. Dikatan perikatan mana suka keran dibitur boleh memenuhi presatasi dengan memilih salah satu dari dua benda yang dijadikan objek perikatan. Namun, debitur tidak dapat memaksakan kreditur untuk menerima sebagian benda yang satu dan sebagian benda yang lainnya. Jika debitur telah memenuhi salah satu dari dua benda yang ditentukan dalam perikatan, dia dibebaskan dan perikatan berakhir. Hak milik prestasi itu ada pada debitor jika hak ini tidak secara tegas diberikan kepada kreditor[12].
Menurut pasal 1272 KUHperdata tentang mengenai perikatan-perikatan mana suka (alternatif) berbunyi, “tentang perikatan-perikatan mana suka debitur dibebaskan jika ia menyerahkan salh satu dari dua barang yang disebutkan dalam perikatan, tetapi ia tidak dapat memaksa kreditor untuk menerima kreditor untuk sebagian dari barang yang satu dan sebagian dari barang yang lainnya”. Dalam perikatan alternatif ini debiturtelah bebas jika telah menyerahkan salh satu dari dua atau lebih barang yang dijadikan alternatif pemebayaran. Misalnya, yang diajadikan alternatif adalah dua ekor sapi atau dua ekor kerbau maka kalau debitur menyerahkan dua ekor sapi saja debitur telah dibebaskan.
Walaupun demikian, debitur tdak dapat memaksakan kepada kreditur untuk menerima sebagian dari barang yang satu dan sebagian barang lainnya. Jadi, debitur tidak dapat memaksa kreditor untuk menerima seekor sapi dan seekor kerbau[13].
4.        Perikatan tanggung menanggung atau tanggung renteng (hoofdelijk atau solidair)
Ini adalah suatu perikatan diaman beberapa orang bersama-sam sebagai pihak yang berhutang berhadapan dengan satu orang yang menghutangkan atau sebaliknya. Beberapa orang bersama-sama berhak menagih suatu piutang dari satu orang. Tetapi perikatan semacam yang belakangan ini, sedikit sekali terdapat dalam praktek. Bebrapa orang yang bersama-sama mengahadapi orang berpiutang atau penagih hutang, masing-masing dapat dituntut untuk membayar hutang itu seluruhnya. Tetapi jika salah satu membayar, maka pemabayaran ini juga membaskan semua temen-temen yang berhutang. Itulah yang dimaksud suatu periktan tanggung-menanggung. Jadi, jika dua A dan B secara tangggung-menanggung berhutang Rp. 100.000, kepada C maka A dan B masing-masing dapat dituntut membayar Rp. 100.000,-[14].
Pada dasarnya perikatan tannggung menanggung meliputi, (a). Perikatan tanggung menanggung aktif, (b). Perikitan tanggung menanggung pasif.
a.       Perikatan tanggung menanggung aktif
Perikatan tanggung menanggung aktif terjadi apabila pihak kreditor terdiri dari beberapa orang. Hak pilih dalam hal ini terletak pada debitor. Perikatan tanggung menanggung aktif ini dapat dilihat pada pasal 1279 menyebutkan : “ adalah terserah kepada yang berpiutang untuk memilih apakah ia akan membayar utang kepada yang 1 (satu) atau kepada yang lainnya diantara orang-orang yang berpiutang, selama ia belum digugat oleh salah satu. Meskipun pembebasan yang diberikan oleh salah satu orang berpiutangdalam suatu perikatan tanggung-menanggung, tidak dapat membebaskan siberutang untuk selebihnya dari bagian orang yang berpiutang tersebut”.
b.      Perikatan tanggung menanggung pasif
Perikatan tanggung menanggung pasif terjadi apabila debitor terdiri dari beberapa orang. Contoh “ X tidak berhasil memperoleh pelunasan pelunasan puitanggya dari debitor Y, dalam hal ini X masih dapat menagih kepada debitor Z yang tanggung menanggung dengan Y. Dengan demikian kedudukan kreditor lebih aman”[15].
5.        Perikatan yang dapat dibagi dan perikatan yang tidak dapat dibagi
Suatu perikatan dapat dikatakan dapat dibagi atau tidak dapat dibagi jika benda yang menjadi objek perikatan dapat atau tidak dapat dibagi menurut imbangan lagi pula pembagian itu tidak boleh mengurangi hakikat dari prestasi tersebut. Jadi, sifat dapat atau tidak dapat dibagi itu berdasarkan pada.:
a.       Sifat benda yang menjadi objek perikatan
b.      Maksud perikatannya, apakah itu dapat atau tidak dapat dibagi.
Persoalan dapat dibagi atau tidak dapat dibagi itu mempunyai arti apabila dalam perikatan itu terdapat lebih dari seorang debitor atau lebih dari sorang kreditor. Jika hanya seorang kreditor perikatan itu dianggap sebagai tidak dapat dibagi[16].
6.        Perikatan dengan penetapan hukuman (strabeding)
Untuk mencegah jangan sampai si berhutang dengan mudah saja melaikan kewajibannya dalam praktek banyak dipakai perjanjian diamana siberhutang dikenakan suatu hukuman apabila ia tidak menepati janjinya. Hukuman itu, biasanya ditetapkan dalam suatu jumlah uang tertentu yang sebenarnya merupakan suatu pembayaran kerugian yang sejak semula sudah ditetapkan sendiri oleh para pihak yang membuat perjanjian itu[17]. Menurut pasal 1304 tentang mengenai perikatan-perikatan dengan ancaman hukuman, berbunyi “ anman hukuman adalah suatu ketentuan sedemikian rupa dengan mana seorang untuk imbalan jaminan pelaksanaan suatu perikatan diwajibkan melakukan sesuatu manakala perikatan itu tidak dipenuhi”[18].
Ketentuan diatas sebenarnya merupakan pendorong bagi debitur untuk memenuhi perikatannya karena apabila ia lalai dalam melaksanakannya dia dikenai suatu hukuman tertentu, yang tentu saja akan membawa kerugian baginya karena dengan hukuman tersebut kewajiban akan semakin besar[19].












DAFTAR PUSTAKA
Miru, ahmadi dan pati sakka. HUKUM PERIKATAN : Penjelasan Makna Pasal 1233 Sampai 1456 BW, Jakarta: Rajawali Pers,2011.
Muhammad, abdulkadir. HUKUM PERDATA INDONESIA, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2010.
Subekti. POKOK-POKOK HUKUM PERDATA, Jakarta : PT. Intermasa, cet  31, 2001.
Syahrani, Riduan. Riduan Syahrani, SELUK BELUK dan ASAS-ASAS HUKUM PERDATA, Bandung : PT. Alumni, ed.rev  3,2006.
Tutik, Triwulan, Titik. HUKUM PERDATA: Dalam Sistem Hukum Nasional, Jakarta : Kencana, 2008.


[1] Lihat Titik Triwulan Tutik, HUKUM PERDATA: Dalam Sistem Hukum Nasional, Jakarta : Kencana, 2008,  hlm 197.
[2] Ibid....Titik Triwulan Tutik.
[3] Lihat Riduan Syahrani, SELUK BELUK dan ASAS-ASAS HUKUM PERDATA, Bandung : PT. Alumni, ed.rev  3,2006,hlm  213-214.
[4] Ibid...Riduan Syahrani.
[5] Lihat Prof. Subekti, POKOK-POKOK HUKUM PERDATA, Jakarta : PT. Intermasa, cet  31, 2001, hlm 128
[6] Lihat Prof. Amadi Miru dan Sakka Pati, HUKUM PERIKATAN : Penjelasan Makna Pasal 1233 samapi 1456 BW, Jakarta: Rajawali Pers,2011, hlm 19-20.
[7] Lihat Prof. Abdulkadir Muhammad, HUKUM PERDATA INDONESIA, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti,2010,hlm 249.
[8] Ibid...Ahmadi miru dan sakka pati, hlm 20.
[9] Lihat Titik Triwulan Tutik, HUKUM PERDATA: Dalam Sistem Hukum Nasional, Jakarta : Kencana, 2008,hlm 215.
[10] Lihat Prof. Amadi Miru dan Sakka Pati, HUKUM PERIKATAN : Penjelasan Makna Pasal 1233 samapi 1456 BW, Jakarta: Rajawali Pers,2011, hlm 31.
[11] Lihat Prof. Subekti, POKOK-POKOK HUKUM PERDATA, Jakarta : PT. Intermasa, cet  31, 2001, hlm 129.
[12] Lihat Prof. Abdulkadir Muhammad, HUKUM PERDATA INDONESIA, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti,2010, hlm 250-251.
[13] Lihat Prof. Amadi Miru dan Sakka Pati, HUKUM PERIKATAN : Penjelasan Makna Pasal 1233 samapi 1456 BW, Jakarta: Rajawali Pers,2011,hlm 34.
[14] Lihat Prof. Subekti, POKOK-POKOK HUKUM PERDATA, Jakarta : PT. Intermasa, cet  31, 2001, hlm 130.
[15] Lihat Titik Triwulan Tutik, HUKUM PERDATA: Dalam Sistem Hukum Nasional, Jakarta : Kencana, 2008,hlm 217-218.
[16] Lihat Prof. Abdulkadir Muhammad, HUKUM PERDATA INDONESIA, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti,2010,hlm 255.
[17] Lihat Prof. Subekti, POKOK-POKOK HUKUM PERDATA, Jakarta : PT. Intermasa, cet  31, 2001,hlm 131.
[18] Lihat Prof. Amadi Miru dan Sakka Pati, HUKUM PERIKATAN : Penjelasan Makna Pasal 1233 samapi 1456 BW, Jakarta: Rajawali Pers,2011, hlm 55.
[19] Ibid... Amadi Miru dan Sakka Pati